Pemilu dan Teori Ekonomi Politik

Pemilu (Pemilihan Umum) adalah aksi dimana rakyat memilih secara politis. Rakyat yang tidak (mau) memilih atau golput tidak akan masuk dalam pembahasan saya, karena mungkin mereka tidak mau terlibat secara politis. Hal ini berarti memberikan batasan (limitation) terhadap pembahasan saya, dan bisa dikategorikan sebagai deviasi atau "error". Mungkin ada batasan lainnya seperti pilihan random dan pilihan yang dipengaruhi.

Saya mulai pembahasan ini dengan konsep choice atau pilihan. Konsep ini popular dan mendasar dalam teori ekonomi yang lebih dikenal dengan rational choice theory, yang bisa diartikan bahwa seseorang dengan mempertimbangkan biaya dan manfaat terhadap suatu barang akhirnya memutuskan untuk memilih barang tersebut. Berarti secara rasional individu itu memilih barang dengan biaya semurah mungkin dengan manfaat sebesar mungkin.

Namun kemudian biaya tidak menjadi masalah karena partai politik (parpol) dan calon legislatif (caleg) dalam Pemilu bukan barang yang mengeluarkan biaya. Biaya yang mungkin dikeluarkan boleh jadi berbentuk biaya kesempatan (opportunity cost) karena kehilangan manfaat, aspirasi atau tujuan pribadi yang tidak tercapai. Dan juga biaya eksternal (externality) karena kemenangan mayoritas akan merugikan kekalahan minoritas dalam implementasi kebijakan.

Biaya kesempatan yang mungkin terjadi adalah realita dimana seseorang memiliki preferensi terhadap 2 atau lebih parpol yang akhirnya harus memilih satu parpol agar suara menjadi valid. Perlu diingat bahwa individu ini berupaya untuk menentukan pilihan dan tidak menjadi golput sementara manfaat yang ingin dicapai (desire) tersalurkan dalam lebih satu parpol.

Dalam kerangka politik, individu pastinya akan berkelompok karena kenyataannya setelah diumukan KPU bahwa Daftar Pemilih Tetap (DPT) terdapat 170 juta lebih individu yang akan memilih hanya 38 parpol. Berarti disini kita mengarah ke sikap dan perilaku pemilihan publik bukan individu lagi.

Yang menarik dari sikap dan perilaku ini adalah kepentingan individu (dari desire individu) berkembang menjadi kepentingan umum (publik). Berarti kepentingan individu akan secara kolektif menjadi suatu agregasi kepentingan individu. Contoh simpel agregasi dalam ekonomi adalah pendapatan pribadi yang dikumpulkan menjadi pendapatan domestik bruto (GDP).

Parpol apapun yang menang dalam Pemilu akan secara potensial menyebabkan biaya eksternal yang besar dari parpol yang tidak menang karena keputusan tersebut memerlukan persetujuan super mayoritas individu atau publik dalam suatu sistem.

Contohnya yang jelas dalam Pemilu adalah salah satu parpol akan mendapat suara tertinggi dan mayoritas, sementara parpol yang lain akan mendapat suara lebih rendah. Walaupun kita asumsikan terjadi koalisi, parpol-parpol yang berada dalam koalisi yang kalah atau kurang dari mayoritas akan mengeluarkan biaya eksternal.

Apa sih biaya eksternal itu? Biaya eksternal yaitu biaya yang dikeluarkan oleh parpol/koalisi yang kalah karena kerugian yang diperoleh akibat dari keputusan atau kebijakan parpol yang menang yang nantinya akan merugikan parpol/koalisi yang kalah.

Teori ini disimpulkan dari teori pilihan publik, Buchanan dan Tullock dalam bukunya The Calculus of Consent: Logical Foundations of Constitutional Democracy (1962). Kalau diartikan diartikan secara kasar dalam Bahasa Indonesia adalah Kalkulus Persetujuan: Dasar Logis dari Demokrasi yang Konstitusional. Haha... untuk yang suka Kalkulus waktu SMA/kuliah dan yang suka politik praktis waktu kuliah tentu akan tertarik untuk membeli buku ini.

Sekarang kita ambil salah satu contoh kebijakan khayalan, misalnya kebijakan umur pensiun 65 tahun dan dwi kewarganegaraan. Setelah Pemilu, parpol/koalisi yang menang menjebolkan UU tentang kebijakan tersebut. Tentunya yang rugi adalah parpol/koalisi yang kalah yang tidak menjebolkan UU tersebut karena memang bukan menjadi suatu aspirasi atau inspirasi yang ditawarkan kepada para pemilihnya. Walaupun demikian, proses demokrasi dalam Pemilu dapat dikatakan berjalan lancar, cuma ada aspirasi yang tercapai dan tidak tercapai.

Sekarang muncul masalah aspirasi dan desire yang ingin dicapai. Tema pendukung pemilu kali ini kebetulan salah satunya adalah "Kenalilah dan pilih caleg yang peduli pada aspirasi dan inspirasi rakyat."

Saya mencoba mengambil konsep keuangan untuk membahas hal ini, yaitu Hipotesis Efesiensi Pasar (Market Efficiency Hypothesis). Konsep ini bisa diartikan bahwa harga di pasar keuangan ditentukan dengan informasi yang diterima oleh pelaku pasar terhadap suatu produk. Jadi, kalau informasi yang diperoleh jelek dan tidak sesuai, maka produk tersebut cenderung memiliki harga yang rendah, dan begitu juga sebaliknya.

Mudah saja diartikan apabila dikaitkan dengan Pemilu, yaitu bahwa kalau informasi yang diperoleh terhadap suatu parpol dan calegnya tidak sesuai dengan aspirasi dan inspirasi calon pemilih, maka parpol dan caleg tersebut tidak akan dipilih.

Bagaimana Pemilu bisa menjadi efisien? Cara satu-satunya adalah seorang calon pemilih perlu mengorek informasi sebanyak mungkin terhadap visi, tujuan, agenda dan profil caleg suatu parpol sedemikian rupa sehingga calon pemilih dapat mencocokan dengan aspirasi, inspirasi, manfaat dan desire-nya. Hal ini dapat diperoleh melalui kampanye-kampanye yang dilakukan atau secara suka rela melakukan observasi terhadap suatu parpol dari media massa atau media internet.

Kalau akhirnya pilihannya menjadi suatu pilihan yang acak (random) atau yang tidak sesuai dengan aspirasi dan inspirasi, maka ada kemungkinan Pemilu menjadi tidak efisien dan boleh jadi menghasilkan suatu agenda baru yang mengambang, tidak aspiratif dan inspirasional.

Apabila kita formulasikan sebagai berikut: Y = f(X1, X2,... X3), dimana y = pilihan parpol dan x = variable parpol yang diobservasi (misalnya Profil Caleg, Asas, Visi, Tujuan, informasi lainnya), maka secara jelas dan logis pilihan individu dapat ditentukan sesuai dengan aspirasi, inspirasi, manfaat dan desire. Ada kemungkinan fungsi ini menjadi Ya = f(Xa1, Xa2,... Xa3) dan Yb = f(Xb1, Xb2,... Xb3), apabila pilihan menjadi lebih dari satu atau multi-variasi, hmmmm... ;-).

Mohon datang ke link ini untuk melihat Daftar Caleg Tetap >>>

Untuk klasifikasi Asas berdasarkan website: IndonesiaMemilih.com, Asas parpol yang mengikuti pemilu dapat dibagi sebagai berikut:

  • Pancasila (parpol no. 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 9, 11, 12, 13, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 25, 28, 30, 31, 32, 33, 41)
  • Islam (parpol no. 8, 18, 24, 27, 29, 34, 42)
  • Keadilan, Demokrasi, Kemajemukan, Pancasila (parpol no. 10)
  • UUD 45 & Pancasila (parpol no. 14, 43, 44)
  • Marhaenisme (parpol no. 15)
  • Nasionalisme (parpol no. 26)

Salam Pemilu 2009 dan Selamat Memilih.

Powered by Blogger.