The Ruler(s) of My Life

(Reflection of Jeff Liando at St John's Presbyterian Church service 19 Oct 2014 , Wellington New Zealand)
Bible Readings: Isaiah 45:1-7 and Matthew 22:15-22


Good morning, selamat pagi.

If I were a Jew and one of the Pharisees, I would have asked again, why pay taxes to non Jewish ruler? Why Cyrus, a non Jew, is anointed by the God of Israel? In reality, I’m an Indonesian and never ask IRD why they tax me or my ministers why I am an Elder now.

From the story about paying taxes to Caesar, I've found the most common interpretation of the story, that Jesus is trying to distinguish between duties to Caesar’s and God’s Kingdom, between government and church. I understand that tax is a tool used by government to raise money in order to perform their jobs in making a better country. However, I know that some conservative views may think that a better country can be established by us privately, with less tax and government intervention. Is God a conservative?

More than the issue of secular versus church or progressive versus conservative, I see three personal points that may face me from this topic.
Firstly, the ruler of my life. Who or what has power over me? God or something else?
Secondly, the options of worldly and godly attitudes. Towards family, church, career, hobbies, relationship, colleagues, community, and so on.
Thirdly, the solution of pursuing both worldly and godly matters simultaneously. Does it work? Is it OK?

As Jesus asked whose head in the coin, I ask myself, who is ruling my life? Do I have more than one dominant power over me? If there are two rulers, then it’s not easy to perform my duties to both sides at the same time. There’s a double tax agreement between New Zealand and Indonesia so, fortunately, I don’t have to pay taxes twice for one income. A few months ago, when I worked for both sides at the same time I paid my taxes separately for each income. Answering to my own question, I always justify with a classic answer that the rulers of my life are God, family and career. Somehow, I feel they are manageable and can be treated separately.

Nevertheless, when it comes to choosing the worldly and godly attitudes, everything seems problematic and not consistent. There are nights with prayers with the children, there are nights without prayers. There are workdays started with prayers, and there are not. Sometimes I confess my mistakes, sometimes I defend and even hide them. I could love my enemies but it’s easier to love my friends. There are chances I use to forgive but sometimes I use them to get revenge. I go to church most Sundays. However, there are Sundays I play badminton with my friends. I consider all missing godly attitudes are just my ignorance, but I do realise they show my disobedience to God.

When I see the reality I find that the previous problematics are actually justifiable and understandable. Perhaps it’s like the concept of tax return on charity when we can shift our unintended duty to good intention. God wants me to believe only He provides all my needs, but I say my work provides my needs and God bless me through my job. God wants me to only serve Him, but I say I can pursue my career, seek wealth, take care of my family and serve God at the same time.

It seems the worldly and godly matters are not in the same scope. If one is in the scope, the other should be out of scope. An Australian client cannot be invoiced with GST for a service provided by a New Zealand company. If I belong to God, can I perform my worldly duty to Him? Or, if I’m at a professional symposium, can I discuss something godly with my colleagues? If I’m holidaying in Queenstown on Sunday should I schedule to go to church first or just enjoy my holiday all day?

I think my initial classic answer of God, family and career becomes obsolete. My answer now is that the ruler of my life is only God Almighty. With this, I can feel His power given to me. I can feel I am His instrument. Like Cyrus the Great, a King of Persian, conquered Mesopotamia and freed the Jews from Babylon to return to Jerusalem. I will have a full control of my life. I believe God will increase everything I have. I will experience His salvation through Jesus Christ. I will move on, forward and upward, stage by stage without interruption. In any given day each of my steps will be full of God’s love, peace, grace and hope.

Do you think God Almighty is the one and only ruler of our life?

Tuhan berkati. Amin.


When should I start writing again?

The question for a blogger lately: "When should I start writing again?"

Busy at work, joy with family, too much time on Facebook and any other things more amusing and interesting than blogging are the key factors that make me stop updating my blog.

Hmmm...

Pemilu dan Teori Ekonomi Politik

Pemilu (Pemilihan Umum) adalah aksi dimana rakyat memilih secara politis. Rakyat yang tidak (mau) memilih atau golput tidak akan masuk dalam pembahasan saya, karena mungkin mereka tidak mau terlibat secara politis. Hal ini berarti memberikan batasan (limitation) terhadap pembahasan saya, dan bisa dikategorikan sebagai deviasi atau "error". Mungkin ada batasan lainnya seperti pilihan random dan pilihan yang dipengaruhi.

Saya mulai pembahasan ini dengan konsep choice atau pilihan. Konsep ini popular dan mendasar dalam teori ekonomi yang lebih dikenal dengan rational choice theory, yang bisa diartikan bahwa seseorang dengan mempertimbangkan biaya dan manfaat terhadap suatu barang akhirnya memutuskan untuk memilih barang tersebut. Berarti secara rasional individu itu memilih barang dengan biaya semurah mungkin dengan manfaat sebesar mungkin.

Namun kemudian biaya tidak menjadi masalah karena partai politik (parpol) dan calon legislatif (caleg) dalam Pemilu bukan barang yang mengeluarkan biaya. Biaya yang mungkin dikeluarkan boleh jadi berbentuk biaya kesempatan (opportunity cost) karena kehilangan manfaat, aspirasi atau tujuan pribadi yang tidak tercapai. Dan juga biaya eksternal (externality) karena kemenangan mayoritas akan merugikan kekalahan minoritas dalam implementasi kebijakan.

Biaya kesempatan yang mungkin terjadi adalah realita dimana seseorang memiliki preferensi terhadap 2 atau lebih parpol yang akhirnya harus memilih satu parpol agar suara menjadi valid. Perlu diingat bahwa individu ini berupaya untuk menentukan pilihan dan tidak menjadi golput sementara manfaat yang ingin dicapai (desire) tersalurkan dalam lebih satu parpol.

Dalam kerangka politik, individu pastinya akan berkelompok karena kenyataannya setelah diumukan KPU bahwa Daftar Pemilih Tetap (DPT) terdapat 170 juta lebih individu yang akan memilih hanya 38 parpol. Berarti disini kita mengarah ke sikap dan perilaku pemilihan publik bukan individu lagi.

Yang menarik dari sikap dan perilaku ini adalah kepentingan individu (dari desire individu) berkembang menjadi kepentingan umum (publik). Berarti kepentingan individu akan secara kolektif menjadi suatu agregasi kepentingan individu. Contoh simpel agregasi dalam ekonomi adalah pendapatan pribadi yang dikumpulkan menjadi pendapatan domestik bruto (GDP).

Parpol apapun yang menang dalam Pemilu akan secara potensial menyebabkan biaya eksternal yang besar dari parpol yang tidak menang karena keputusan tersebut memerlukan persetujuan super mayoritas individu atau publik dalam suatu sistem.

Contohnya yang jelas dalam Pemilu adalah salah satu parpol akan mendapat suara tertinggi dan mayoritas, sementara parpol yang lain akan mendapat suara lebih rendah. Walaupun kita asumsikan terjadi koalisi, parpol-parpol yang berada dalam koalisi yang kalah atau kurang dari mayoritas akan mengeluarkan biaya eksternal.

Apa sih biaya eksternal itu? Biaya eksternal yaitu biaya yang dikeluarkan oleh parpol/koalisi yang kalah karena kerugian yang diperoleh akibat dari keputusan atau kebijakan parpol yang menang yang nantinya akan merugikan parpol/koalisi yang kalah.

Teori ini disimpulkan dari teori pilihan publik, Buchanan dan Tullock dalam bukunya The Calculus of Consent: Logical Foundations of Constitutional Democracy (1962). Kalau diartikan diartikan secara kasar dalam Bahasa Indonesia adalah Kalkulus Persetujuan: Dasar Logis dari Demokrasi yang Konstitusional. Haha... untuk yang suka Kalkulus waktu SMA/kuliah dan yang suka politik praktis waktu kuliah tentu akan tertarik untuk membeli buku ini.

Sekarang kita ambil salah satu contoh kebijakan khayalan, misalnya kebijakan umur pensiun 65 tahun dan dwi kewarganegaraan. Setelah Pemilu, parpol/koalisi yang menang menjebolkan UU tentang kebijakan tersebut. Tentunya yang rugi adalah parpol/koalisi yang kalah yang tidak menjebolkan UU tersebut karena memang bukan menjadi suatu aspirasi atau inspirasi yang ditawarkan kepada para pemilihnya. Walaupun demikian, proses demokrasi dalam Pemilu dapat dikatakan berjalan lancar, cuma ada aspirasi yang tercapai dan tidak tercapai.

Sekarang muncul masalah aspirasi dan desire yang ingin dicapai. Tema pendukung pemilu kali ini kebetulan salah satunya adalah "Kenalilah dan pilih caleg yang peduli pada aspirasi dan inspirasi rakyat."

Saya mencoba mengambil konsep keuangan untuk membahas hal ini, yaitu Hipotesis Efesiensi Pasar (Market Efficiency Hypothesis). Konsep ini bisa diartikan bahwa harga di pasar keuangan ditentukan dengan informasi yang diterima oleh pelaku pasar terhadap suatu produk. Jadi, kalau informasi yang diperoleh jelek dan tidak sesuai, maka produk tersebut cenderung memiliki harga yang rendah, dan begitu juga sebaliknya.

Mudah saja diartikan apabila dikaitkan dengan Pemilu, yaitu bahwa kalau informasi yang diperoleh terhadap suatu parpol dan calegnya tidak sesuai dengan aspirasi dan inspirasi calon pemilih, maka parpol dan caleg tersebut tidak akan dipilih.

Bagaimana Pemilu bisa menjadi efisien? Cara satu-satunya adalah seorang calon pemilih perlu mengorek informasi sebanyak mungkin terhadap visi, tujuan, agenda dan profil caleg suatu parpol sedemikian rupa sehingga calon pemilih dapat mencocokan dengan aspirasi, inspirasi, manfaat dan desire-nya. Hal ini dapat diperoleh melalui kampanye-kampanye yang dilakukan atau secara suka rela melakukan observasi terhadap suatu parpol dari media massa atau media internet.

Kalau akhirnya pilihannya menjadi suatu pilihan yang acak (random) atau yang tidak sesuai dengan aspirasi dan inspirasi, maka ada kemungkinan Pemilu menjadi tidak efisien dan boleh jadi menghasilkan suatu agenda baru yang mengambang, tidak aspiratif dan inspirasional.

Apabila kita formulasikan sebagai berikut: Y = f(X1, X2,... X3), dimana y = pilihan parpol dan x = variable parpol yang diobservasi (misalnya Profil Caleg, Asas, Visi, Tujuan, informasi lainnya), maka secara jelas dan logis pilihan individu dapat ditentukan sesuai dengan aspirasi, inspirasi, manfaat dan desire. Ada kemungkinan fungsi ini menjadi Ya = f(Xa1, Xa2,... Xa3) dan Yb = f(Xb1, Xb2,... Xb3), apabila pilihan menjadi lebih dari satu atau multi-variasi, hmmmm... ;-).

Mohon datang ke link ini untuk melihat Daftar Caleg Tetap >>>

Untuk klasifikasi Asas berdasarkan website: IndonesiaMemilih.com, Asas parpol yang mengikuti pemilu dapat dibagi sebagai berikut:

  • Pancasila (parpol no. 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 9, 11, 12, 13, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 25, 28, 30, 31, 32, 33, 41)
  • Islam (parpol no. 8, 18, 24, 27, 29, 34, 42)
  • Keadilan, Demokrasi, Kemajemukan, Pancasila (parpol no. 10)
  • UUD 45 & Pancasila (parpol no. 14, 43, 44)
  • Marhaenisme (parpol no. 15)
  • Nasionalisme (parpol no. 26)

Salam Pemilu 2009 dan Selamat Memilih.

Powered by Blogger.